Bopel.News – Reog yang bertahan hadapi gempuran budaya modern
Hampir semua kesenian tradisional menghadapi tantangan besar, bahkan pertempuran hebat,
berhadapan dengan gemerlapnya budaya modern yang didukung oleh perkembangan teknologi informasi.
Reyog (reog) Ponorogo adalah salah satu dari kesenian tradisional di Indonesia yang memiliki kekuatan luar biasa dalam mengarungi pertempuran dengan budaya modern.
Pada 3 Desember 2024, organisasi internasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berfokus menangani pendidikan,
ilmu pengetahuan, dan kebudayaan atau UNESCO menetapkan Reyog Ponorogo masuk dalam Daftar Warisan Budaya Takbenda (WBTb) kategori “In Need of Urgent Safeguarding”.
Bagi orang Ponorogo, baik tinggal di kabupaten itu maupun yang merantau ke daerah lain,
bahkan ke luar negeri, penetapan Reyog sebagai warisan budaya itu bukan sekadar kebanggaan,
melainkan juga menjadi energi tambahan bagi pelaku untuk tetap semangat mempertahankan kesenian nenek moyangnya itu melawan budaya modern masa kini.
Pewaris
Ada beberapa alasan sehingga kesenian Reyog tidak pernah ditinggalkan oleh generasi masa kini Ponorogo,
meskipun budaya modern lebih menjanjikan gemerlap dan kemewahan.
Budayawan (alm) Prof Dr Ayu Sutarto pernah mengemukakan alasan mengapa Reyog, termasuk ludruk, dua kesenian tradisional di Jawa Timur ,
yang hingga kini masih hidup dan digemari oleh masyarakat.
Ayu memaparkan dua elemen penyangga Reyog dan ludruk, yakni adanya pewaris aktif dan pewaris pasif.
Pewaris aktif ini merujuk kepada mereka yang menjadi pelaku (pemain) kesenian tradisional tersebut,
sedangkan pewaris pasif adalah para penikmat atau penonton.
Dua pewaris itu berada dalam relasi yang simbiosis mutualisme, karena satu sama lain saling membutuhkan. Pewaris aktif atau pelaku membutuhkan kehadiran penonton sebagai penikmat, sedangkan pewaris pasif memerlukan hadirnya pelaku kesenian untuk mendapatkan hiburan.
Hingga kini, masyarakat di daerah yang dikenal sebagai “Kota Santri” dan “Kota Dawet” itu,
baik pelaku aktif maupun pasif, masih menempatkan Reyog sebagai sarana hiburan,
sekaligus sarana merawat kebanggaan sebagai wong Ponorogo.
Pemerintah Kabupaten Ponorogo, beberapa tahun lalu mencatat bahwa hampir semua desa di kabupaten itu memiliki grup Reyog. Bahkan, dalam satu desa ada yang memiliki dua hingga tiga grup Reyog.
Karena itu, kesenian Reyog tidak pernah jauh dari telinga dan mata orang yang tinggal di Ponorogo,
termasuk mereka yang masih anak-anak.
Apalagi, di sekolah-sekolah juga ada kegiatan ekstrakurikuler Reyog.
Mengenai kebanggaan warga terhadap kesenian Reyog ini memang tidak bisa dihilangkan dari hati orang yang memiliki darah keturunan kota budaya itu.
Orang asal Ponorogo yang merantau ke daerah lain tidak pernah lupa dengan hiburan Reyog.
Karena itu, di sejumlah daerah di luar Ponorogo kita dengan mudah menjumpai pertunjukan Reyog yang tidak perlu mendatangkan grup dari Ponorogo.
Bahkan, di luar negeri pun, seperti di Malaysia atau Thailand, orang asal Ponorogo tidak lupa dengan Reyog. Karena itulah, kemungkinan, negara Malaysia sempat mendaku Reyog sebagai kebudayaan tradisionalnya.
Budayawan dari Ponorogo Dr H Sutejo, MHum mengemukakan bahwa salah satu kondisi yang membuat Reyog tetap mampu bertahan hidup adalah kebanggaan masyarakat terhadap kesenian warisan leluhurnya itu.
Rasa bangga terhadap kekayaan budayanya itu menjadi energi luar biasa bagi Reyog, sehingga tetap hidup dan terus berkembang.
Keberadaan grup-grup Reyog di berbagai kota di Indonesia, bahkan di luar negeri, merupakan buah dari kebanggaan masyarakat akan kesenian adiluhungnya itu.
Bagi masyarakat penonton, ketika di daerah perantauan ada pementasan Reyog, hal itu menjadi semacam pengobat rindu pada kampung halaman.
Banyaknya penonton yang menikmati pertunjukan juga menjadi penyemangat bagi para pemain untuk menampilkan atraksi Reyog dengan bagus.
Karena itu, orang Ponorogo di perantauan tidak minder ketika mereka menampilkan Reyog.
Reog yang bertahan hadapi gempuran budaya modern